Artikel BLUD.id

Menilik Implementasi Prinsip Agensifikasi Dalam Badan Layanan Umum

Badan Layanan Umum atau yang biasa disingkat dengan BLU merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari untung dalam kegiatan operasionalnya yang didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Transformasi lembaga birokrasi ke lembaga konvensional perlu dilakukan agar prinsip good governance dapat berjalan dengan baik sehingga lembaga dapat lebih responsif dalam memberikan pelayanan dan mendukung peningkatan serta pencapaian efisiensi dan efektivitas. Model yang dapat dilakukan untuk melakukan transformasi tersebut adalah dengan agensifikasi. Agensifikasi memungkinkan organisasi publik diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan organisasi untuk dapat meningkatkan pelayanan organisasi tersebut. Badan Layanan Umum dibentuk sebagai suatu implementasi dari teori agensifikasi tersebut karena ada pemisahan antara fungsi kebijakan yaitu regulator dengan fungsi pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah. Fungsi kebijakan dilakukan oleh kantor pusat kebijakan sedangkan fungsi kedua dilakukan oleh kantor-kantor yang melaksanakan tugas pelayanan. Menurut teori agensi, prinsip agensifikasi pada badan layanan umum yaitu BLU pemberian mandat oleh Menteri atau pimpinan lembaga yang berbentuk kontrak kerja kepada kepala eksekutif badan layanan umum untuk melaksanakan program-program yang sejenis dan akan dikelola secara profesional. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang perubahannya telah ditulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 menjelaskan bahwa BLU dibentuk sebagai format baru bagi pembaruan manajemen keuangan sektor publik. Beberapa hal dari BLU yang membedakannya dari satuan kerja instansi pemerintah adalah pengelolaan keuangannya dimana pemerintah pusat secara khusus mengatur pola pengelolaan keuangan BLU dengan beberapa asas yaitu fleksibilitas, perhitungan efisiensi biaya dan pengelolaan untuk meningkatkan layanan dengan mutu yang baik. Dalam perjalanannya untuk menjadi BLU yang berkontribusi bagi Negara, BLU memiliki tantangan tersendiri yaitu perlunya peningkatan kemampuan manajerial para pimpinan BLU agar mampu menjadikan BLU sebagai organisasi sektor publik dengan kinerja sektor swasta. Kepemimpinan memiliki peran yang penting dalam mengkomunikasikan sasaran dan tujuan lembaga/organisasi kepada para anggota sehingga tujuan lembaga/organisasi dapat tercapai dengan baik. Apabila pimpinan lembaga mempunyai sifat integritas yang tinggi maka dia akan mampu menggerakkan organisasi/lembaga dan mengelola SDM yang dimiliki agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Sebaliknya, apabila pemimpin BLU memanfaatkan kekuasaan yang ia miliki demi kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu maka kemungkinan besar BLU tidak akan jauh berbeda dengan organisasi birokratif yang lambat dalam mengambil keputusan tanpa adanya suatu inovasi dan kreativitas. Oleh karena itu, implementasi agensifikasi pada BLU harus didukung oleh pemimpin dan anggota yang mumpuni agar tujuan BLU dapat tercapai dengan baik.

Fleksibilitas PPK BLUD Dalam Pengelolaan Belanja BLUD

Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berpotensi untuk mendapatkan imbalan secara signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, maupun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanan kepada publik secara signifikan dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan. Hal ini merupakan upaya peng-agenan aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi oleh instansi pemerintah daerah yang dikelola “secara bisnis”, sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif yaitu dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD. Fleksibilitas tersebut dapat dilaksanakan terhadap belanja BLUD yang bersumber dari pendapatan BLUD seperti jasa layanan, hibah, hasil kerjasama dengan pihak lain, APBD, lain-lain pendapatan BLUD yang sah dan hibah tidak terikat. Pengelolaan belanja BLUD diberikan fleksibilitas dengan mempertimbangkan volume kegiatan pelayanan. Namun demikian, fleksibilitas yang dimaksud adalah belanja yang disesuaikan dengan perubahan pendapatan dalam ambang batas RBA dan DPA yang telah ditetapkan secara definitif. Hal tersebut menunjukkan bahwa, fleksibilitas bukan berarti tanpa adanya rencana yang matang. Dengan adanya ambang batas yang ditentukan, pengelolaan belanja BLUD tidak akan melebihi besaran persentase realisasi belanja yang diperkenankan melampaui anggaran dalam RBA dan DPA. Jika dalam hal belanja BLUD ternyata melampaui ambang batas, maka harus dengan persetujuan kepala daerah dengan cara mengajukan usulan tambahan anggaran APBD kepada PPKD. Permendagri No. 79 Tahun 2018 pasal 75 menyebutkan bahwa besaran persentase ambang batas dihitung tanpa memperhitungkan saldo awal kas. Besaran presentase tersebut memperhitungkan fluktuasi kegiatan operasional, meliputi : kecenderungan/tren selisih anggaran pendapatan BLUD selain APBD tahun berjalan dengan realisasi 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya; dan kecenderungan/tren selisih pendapatan BLUD selain APBD dengan prognosis tahun anggaran berjalan.

Mengembangkan Kelembagaan Badan Layanan Umum

Pengembangan kelembagaan sering dikenal juga sebagai pembinaan kelembagaan, yang didefinisikan sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan keuangan yang tersedia. Pengembangan kelembagaan menyangkut sistem manajemen, termasuk pemantauan dan evaluasi, perencanaan dan lain-lain. Pengembangan kelembagaan yang diterapkan dalam BLU berkaitan dengan penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Birokrasi harus membangun partisipasi masyarakat,  bergeser dari yang mengendalikan menjadi mengarahkan dan memberdayakan, mengembangkan transparansi dan akuntabilitas. Keterbukaan dan keertanggungjawaban ditekankan sebagai hakikat dari upaya pengembangan kelembagaan. Kebijakan BLU dituntut agar transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengembangan kelembagaan yang demikian akan menghasilkan BLU yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Akuntabilitas dan transparansi tidak hanya menyodorkan takaran harga kinerja lembaga pemerintah tapi juga menjadi cermin tingkat independensinya. Kemandirian lembaga memiliki modal utama berupa kejelasan identitas lembaga yang bersangkutan beserta tujuan dan tugas-tugas strategis yang harus dikerjakan sehingga suatu lembaga tersebut memiliki sejumlah koridor sebagai bahan kontrol dan antisipasi dari segenap potensi penyimpangan. Keterbukaan dan kebertanggungjawaban BLU dapat diterapkan melalui regulasi yang ditetapkan. Dalam hal ini BLU didasari oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2012 yang membahas mengenai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU).  Peningkatan kelambagaan BLU juga terimplementasi dari fleksibilitas pengelolaan keuangan yang menggunakan prinsip efisiensi dan produktivitas untuk mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. BLU merupakan contoh konkrit instansi pemerintah yang pengelolaannya berbasis kinerja dengan meningkatkan sisi akuntabilitas dan seluruh pendapatan dan pengeluaran BLU tercatat pada anggaran pemerintah. Lebih dari 90% BLU memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan, sisanya memberikan pelayanan untuk mendukung kemampuan finansial koperasi, usaha kecil, mikro, dan menengah, dukungan pengembangan industri, pemasyarakatan hasil penelitian dan pengembangan teknologi, dan pengelolaan kawasan untuk percepatan pengembangan investasi. Pada sisi regulasi, selama satu dasawarsa terakhir BLU guna mendukung peningkatan pelayanan. Konsep BLU pada dasarnya mengadopsi praktek bisnis yang sehat, walaupun tidak mengutamakan mencari keuntungan.

Simplifikasi Dokumen Pra Badan Layanan Umum Daerah

Seperti yang kita ketahui persoalan mengenai Badan Layanan Umum Daerah masih terdapat banyak tanda tanya. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah terus melakukan pembaharuan terhadap peraturan yang mengatur mengenai BLUD. Adapun beberapa prinsip perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang BLUD adalah penyederhanaan persyaratan penerapan BLUD dan tidak ada lagi BLUD berstatus bertahap, tetap menjaga akuntabilitas dengan mempermudah penerapannya, dan tetap mempertahankan segala sesuatu yang sudah berjalan dengan baik. Tujuan diadakan perubahan ini adalah untuk mempertegas dan memperjelas segala sesuatu yang masih abu-abu dalam hal ini adalah kepastian hukum, tidak sekedar melakukan perubahan regulasi namun juga mengatasi problem dan hambatan yang dihadapi serta menjawab pertanyaan perihal ketidak optimalan pelaksanaan PPK BLUD. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD, yang kemudian lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018. Dengan adanya Permendagri Nomor 79 ini maka terjadilah simplifikasi penyusunan dokumen adminstratif persyaratan BLUD yang terdiri dari : Surat pernyataan kesanggupan meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan dan manfaat bagi masyarakat; Pola Tata Kelola; Rencana Strategi atau yang sebelumnya disebut sebagai Rencana Strategis Bisnis (RSB); Standar Pelayanan Minimal atau SPM; Laporan Keuangan Pokok atau Prognosis/proyeksi Laporan Keuangan; Laporan audit akhir (yang sudah pernah di audit) atau surat pernyataan bersedia untuk diaudit oleh pemeriksa eksternal pemerintah. Mari kita kupas satu per satu dokumen yang disudah disebutkan di atas yang mengalami perubahan dari Permendagri Nomor 61 tahun 2007 : Rencana Strategis atau yang disebut dengan Renstra adalah nama baru bagi dokumen yang sebelumnya benama Rencana Startegi Bisnis (RSB), simplifikasi yang dilakukan dengan menyusun renstra sesuai dengan peraturan perundang-undangan renstra SKPD dan RPJMD dengan ditambahkan rencana perkembangan layanan, strategis dan arah kebijakan, rencana program dan kegiatan, dan rencana keuangan. Laporan Keuangan Pokok disesuaikan dengan sisem akuntansi yang diterapkan pada pemerintah daerah yaitu terdiri dari 5 laporan keuangan. Pertama adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA), kedua adalah neraca, ketiga adalah Laporan Operasional (LO), keempat adala Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), dan yang terakhir adalah Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK). Untuk kelembagaan yang baru dibentuk dan akan menerapkan BLUD, penyusunan prognosis atau proyeksi laporan keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Operasional (LO) disusun sesuai dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Demikian perubahan yang terjadi dalam Permendagri No. 79 Tahun 2018, dan semoga cukup menjawab abu-abu mengenai penyusunan dokumen PRA BLUD.

Penyusunan Rencana Bisnis Dan Anggaran Badan Layanan Umum

Rencana Bisnis dan Anggaran Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu Satker BLU. Rencana bisnis dan anggaran definitif adalah Rencana Bisnis dan Anggaran Badan Layanan Umum yang telah disesuaikan dengan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Keputusan Presiden mengenai Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan telah disahkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Ketua Dewan Kawasan. Pola Anggaran Fleksibel (flexible budget) adalah pola anggaran yang penganggaran belanjanya dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang, setidaknya proporsional. Persentase Ambang Batas adalah besaran persentase realisasi belanja yang diperkirakan melebihi anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Badan Layana Umum. Penyusunan RBA dilakukan melalui metode top down dan bottom up yang dimulai dari: policy statement oleh pimpinan; tingkat pusat pertanggungjawaban; komite anggaran yaitu suatu panitia anggaran yang mempunyai tugas untuk mengarahkan dan mengevaluasi anggaran; tingkat direksi dan dewan pengawas. RBA disusun berdasarkan: basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layananannya; kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima; dan basis akrual. Standar biaya layanannya berdasarkan perhitungan akuntansi biaya ditetapkan oleh pimpinan BLU. RBA paling sedikit memuat: seluruh program dan kegiatan; target kinerja (output); kondisi kinerja BLU tahun berjalan; asumsi makro dan mikro; kebutuhan belanja dan kemampuan pendapatan; perkiraan biaya; dan prakiraan maju (forward estimate). Keterangan: Rumusan program dan kegiatan, dan target kinerja (output) harus sama dengan rumusan program, kegiatan dan target kinerja yang ada dalam RKA-K/L. Kondisi kinerja BLU tahun berjalan merupakan uraian gambaran mengenai capaian kinerja per unit kerja pada Satker BLU. Asumsi makro merupakan data atau informasi atas indikator ekonomi yang berhubungan dengan aktivitas perekonomian nasional atau global secara keseluruhan. Asumsi mikro merupakan data atau informasi atas indikator ekonomi yang berhubungan dengan aktivitas Satker BLU. Kebutuhan belanja dan kemampuan pendapatan yang disusun menggunakan basis kas yang akan menjadi menjadi data masukan untuk pengisian Kertas Kerja RKA-K/L. Perkiraan biaya disusun menggunakan basis akrual. Prakiraan maju untuk kebutuhan belanja dan kemampuan pendapatan dicantumkan dalam RBA sampai dengan 3 (tiga) tahun ke depan. Referensi : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Bisnis Dan Anggaran Badan Layanan Umum Di Lingkungan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan

Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir Pada Badan Layanan Umum

Dana Bergulir adalah dana yang dialokasikan oleh Kementerian Negara/ Lembaga/ Satuan Kerja Badan Layanan Umum untuk kegiatan perkuatan modal usaha bagi koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya yang berada di bawah pembinaan Kementerian Negara/ Lembaga. Dana Bergulir bertujuan untuk membantu perkuatan modal usaha guna pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pengembangan ekonomi nasional. Suatu dana dikategorikan sebagai Dana Bergulir jika memenuhi karakteristik sebagai berikut: merupakan bagian dari keuangan negara dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan dimiliki, dikuasai, dikendalikan dan/atau dikelola oleh PA/KPA disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepada masyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund) ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya, dapat ditarik kembali pada suatu saat Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran BLU dapat menyalurkan Dana Bergulir kepada penerima Dana Bergulir dengan atau tanpa lembaga perantara. Lembaga perantara dapat berupa lembaga keuangan bank, lembaga keuangan non-bank, atau satuan kerja pemerintah daerah di bidang pembiayaan yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Lembaga perantara berupa lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank dapat berfungsi sebagai penyalur (channeling) atau pelaksana pengguliran dana (executing). Lembaga perantara berupa satuan kerja pemerintah daerah di bidang pembiayaan yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) hanya berfungsi sebagai penyalur dana (channeling). Lembaga perantara berfungsi sebagai penyalur dana (channeling) dalam hal lembaga tersebut hanya menyalurkan dan menagih kembali Dana Bergulir kepada/dari penerima Dana Bergulir dan tidak bertanggung jawab menetapkan penerima Dana Bergulir, serta tidak menanggung risiko terhadap pinjaman/pembiayaan yang disalurkan. Lembaga perantara berfungsi sebagai pelaksana pengguliran dana (executing) dalam hal lembaga tersebut mempunyai tanggung jawab menyeleksi dan menetapkan penerima Dana Bergulir, menyalurkan dan menagih kembali Dana Bergulir, serta menanggung risiko terhadap tidak tertagihnya dana bergulir. Dalam rangka penyusunan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, akuntansi untuk transaksi Dana Bergulir adalah sebagai berikut : Pengeluaran untuk Dana bergulir yang bersumber dari Rupiah Murni, hibah, dan pendapatan dari Dana Bergulir dilaporkan sebagai Pengeluaran Pembiayaan pada Laporan Realisasi Anggaran. Pengeluaran untuk Dana Bergulir yang bersumber dari penarikan kembali pokok Dana Bergulir, saldo pokok pembiayaan yang diterima dari APBN, dan sumber lainnya yang telah dipertanggungjawabkan dalam laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN tidak dilaporkan dalam laporan Realisasi Anggaran, cukup dalam laporan keuangan Satker BLU sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. Dana Bergulir yang terbentuk sebagai akibat pengeluaran dilaporkan sebagai Investasi Jangka Panjang Non-Permanen pada Neraca. Dana Bergulir yang disalurkan oleh Satker BLU dilaporkan sebagai piutang dana bergulir pada Neraca sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. Pengelolaan piutang Dana Bergulir, mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan piutang BLU. Penerimaan kembali pokok Dana Bergulir yang ditagih dari penerima Dana Bergulir tidak dicatat oleh Satker BLU sebagai Penerimaan Pembiayaan pada Laporan Realisasi Anggaran dan tidak mengurangi Dana Bergulir di Neraca, tetapi harus diungkapkan secara jelas dalam Catatan atas Laporan Keuangan, dan penerimaan dimaksud harus dilaporkan dalam laporan keuangan Satker BLU sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. Penerimaan pendapatan, berupa bunga, bagi hasil, dan hasil lainnya yang diterima dari Dana Bergulir dilaporkan sebagai pendapatan pada Laporan Realisasi Anggaran. Pengeluaran untuk keperluan operasional Satuan kerja BLU yang bersumber dari pendapatan Dana Bergulir dilaporkan sebagai Belanja Barang dan Jasa dan/atau Belanja Modal pada Laporan Realisasi Anggaran.   Referensi : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218 PMK. 05 Tahun 2009

Jumlah Viewers: 1031