Artikel BLUD.id

Kelemahan Pengelolaan Dana Kapitasi

Pengelolaan dana kapitasi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penggunaa Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah. Menurut peraturan tersebut, dana kapitasi dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan, dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Besaran dana kapitasi yang digunakan untuk penyelenggaraan jasa pelayananpun ditetapkan dalam aturan ini sebesar sekurang-kurangnya 60%. Sementara, besaran dana kapitasi untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan ditetapkan sebesar selisih dari besaran dana kapitasi dikurangi dengan besaran dana alokasi untuk penyelenggaraan jasa pelayanan kesehatan (biasanya 40%). Aturan ini dibentuk guna memenuhi tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yaitu memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Namun, pengelolaan dana kapitasi tak melulu berjalan mulus. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan dipublikasikan di laman website KPK dipaparkan bahwa terdapat 4 kelemahan pengelolaan dana kapitasi. Pertama, yaitu masalah regulasi. Pengalokasian dana kapitasi sebesar 60% untuk penyelenggaraan jasa pelayanan dan 40% untuk dukungan biaya operasional berpotensi menimbulkan moral hazard dan ketidakwajaran. Selain itu, aturan yang ada belum mengatur mekanisme pengelolaan sisa lebih dana kapitasi. Kedua, yaitu masalah pembiayaan. KPK menemukan adanya indikasi fraud (kecurangan) terkait pembiayaan karena penerima bantuan iuran dari puskesmas diperbolehkan pindah ke FKTP swasta. Ketiga, yaitu masalah tata laksana dan sumber daya. KPK menilai sumber daya manusia yang ada di puskesmas belum memiliki pemahaman yang memadai terkait regulasi dana kapitasi. Hal tersebut tentu saja akan berdampak pada efektifitas dan efisiensi penggunaan dana kapitasi. Ketidakpahaman ini mendorong persepsi bahwa dana kapitasi harus dihabiskan pada tahun yang sama sehingga, puskesmas akan berlomba-lomba menghabiskan dana untuk belanja yang tidak perlu atau bahkan melakukan manipulasi belanja Keempat, yaitu masalah pengawasan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya anggaran pengawasan dana kapitasi di daerah. Jika pelaksanaan tidak dibarengi dengan pengawasan, maka akan memperlebar celah untuk terciptanya penyimpangan-penyimpangan pengelolaan dana kapitasi tersebut. Berikut lampiran: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 21 Tahun 2016 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi dan Jaminan Kesehatan Nasional

Pengelolaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional

Pengelolaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 Tahun 2016. Peraturan tersebut menjelaskan secara rinci tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Milik Pemerintah Daerah. Dana JKN merupakan jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Secara khusus, peraturan tersebut ditujukan untuk FKTP yang belum menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Dana yang diterima kemudian dikelola oleh masing-masing FKTP untuk dialokasikan ke dalam dua hal, yaitu pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Jasa pelayanan diberikan kepada tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang melakukan pelayanan pada FKTP. Besarnya alokasi dana yang digunakan untuk membayar jasa pelayanan kesehatan adalah sekurang-kurangnya 60% dari seluruh dana JKN yang diterima, Selisih antara total dana kapitasi JKN dengan dana yang dialokasikan untuk membayar jasa pelayanan kesehatan digunakan untuk membiayai dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan, yang meliputi biaya obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, serta biaya operasional pelayanan kesehatan lainnya yaitu untuk belanja operasional barang dan belanja modal. Sisa dari alokasi dana JKN yang dimiliki oleh FKTP dapat dimanfaatkan untuk tahun anggaran berikutnya yang harus dimasukkan dalam rencana pendapatan dan belanja Dana Kapitasi JKN yang dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan sisa dana JKN hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang sejenis dengan alokasi sebelumnya, yaitu sisa alokasi dana untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan hanya dapat dimanfaatkan untuk membiayai jasa pelayanan kesehatan pada tahun anggaran berikutnya, begitu pula dengan kegiatan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 21 Tahun 2016 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi dan Jaminan Kesehatan Nasional, maka Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 589), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berikut lampiran: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 21 Tahun 2016 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi dan Jaminan Kesehatan Nasional

Audit Eksternal Keuangan SAK

Sebelum mengetahui apa itu audit eksternal keuangan SAK, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai apa itu audit. Audit menurut PSAK (Pernyataan Standar Audit Keuangan) adalah suatu proses sistematik yang bertujuan untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti yang dikumpulkan atas pernyataan atau asersi tentang aksi-aksi ekonomi, kejadian-kejadian dan melihat tingkat hubungan antara pernyataan atau asersi dan kenyataan, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi, perusahaan menggunakan audit eksternal yang independen. Audit Eksternal adalah audit yang dilakukan oleh pihak di luar entitas yang memenuhi syarat-syarat audit. Audit eksternal memiliki tujuan untuk menentukan, (a) Apakah catatan akuntansi itu akurat dan lengkap, (b) Apakah laporan keuangan yang disusun sudah sesuai dengan ketentuan PSAK, dan (c) Apakah laporan keuangan disajikan secara wajar dan sesuai dengan data yang sebenarnya. Audit eksternal nantinya akan menghasilkan laporan keuangan audit. Laporan keuangan audit adalah laporan keuangan yang berisi opini auditor atas laporan keuangan yang telah diaudit. Opini auditor adalah pernyataan auditor terhadap kewajaran laporan keuangan dari entitas yang telah di audit. antara lain: (a) opini wajar tanpa pengecualian artinya bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam segala hal yang material, posisi keuangan, arus kas, dan hasil usaha entitas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. (b) opini wajar dengan pengecualian artinya laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan aurs kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntasi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. (c) Opini tidak wajar artinya laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. (d) opini tidak memberi pendapat artinya auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan, opini tersebut dikeluarkan ketika laporan keuangan yang disajikan tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, dan posisi keuangan, arus kas, dan hasil usaha entitas tidak disajikan secara wajar dalam segala hal yang material. Laporan Keuangan BLU/BLUD sebelum disampaikan kepada entitas pelaporan akan diperiksa terlebih dahulu oleh Satuan Pemeriksaan Intern (SPI). Jika BLU/BLUD belum memiliki SPI, maka pemeriksaan akan dilakukan oleh aparat pengawasan intern Kementrian Negara/Lembaga/Pemerintah. Laporan Keuangan tahunan BLU/BLUD akan diaudit oleh auditor eksternal, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk oleh BPK. Download contoh dokumen:  Laporan Keuangan Tahunan Puskesmas  Laporan Keuangan Tahunan RSUD  Artikel Terkait: Penyajian Laporan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU/BLUD)

Peralihan dari Kas Basis ke Akrual Basis

Peralihan dari kas basis ke akrual basis. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) menyatakan bahwa Pemerintah menerapkan SAP berbasis akrual (Pasal 4 ayat 1). SAP berbasis akrual adalah SAP yang mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam APBN/APBD. Penerapan SAP berbasis akrual sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4 ayat 1 dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual. SAP berbasis kas menuju akrual adalah SAP yang mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan berbasis kas, serta mengakui aset, utang, dan ekuitas dana berbasis akrual. Tujuan dari peralihan laporan keuangan dari yang berbasis kas menuju berbasis akrual adalah untuk membuat penilaian riil terhadap kinerja pemerintahan menjadi transparan, akuntabel dan real time. Lingkup pengaturan pada Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 meliputi SAP berbasis akrual dan SAP berbasis kas menuju akrual. SAP berbasis kas menuju akrual pada Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 terdapat dalam lampiran II peraturan tersebut. Berikut isi lampiran II : Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis kas untuk  pengakuan pendapatan,  belanja, dan pembiayaan dalam Laporan  Realisasi Anggaran dan  basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca. Basis kas untuk Laporan Realisasi Anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau  oleh entitas pelaporan dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan dari Rekening  Kas Umum Negara/ Daerah  atau entitas pelaporan. Entitas pelaporan tidak menggunakan istilah  laba. Penentuan sisa pembiayaan anggaran baik lebih ataupun kurang untuk setiap periode tergantung pada selisih realisasi penerimaan dan  pengeluaran. Pendapatan dan belanja bukan tunai seperti bantuan pihak luar asing dalam bentuk barang dan jasa disajikan pada Laporan Realisasi Anggaran. Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset, kewajiban, dan  ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Download: Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) 

Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, diantaranya untuk meningkatkan pembangunan kesehatan, sehingga Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat menyediakan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau dan berkualitas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 298 ayat (7) menyebutkan belanja DAK diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan dapat digunakan untuk kegiatan nonfisik. Pada Tahun Anggaran 2018 Petuntuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Non Fisik Bidang Kesehatan diatur dalam Permenkes Nomor 61 Tahun 2017. Permenkes No 61 Tahun 2018 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2018 diberikan kepada daerah untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas pembangunan kesehatan nasional tahun 2018. Dana alokasi khusus tersebut ditetapkan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2018 yang bertujuan mendukung daerah dalam penyediaan dana pembangunan bidang kesehatan untuk mencapai target prioritas nasional bidang kesehatan. Sasaran Dana Alokasi Khusus, antara lain: Dinas Kesehatan provinsi dan UPT-nya, yaitu Balai Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan UPT-nya, yaitu puskesmas, balai kesehatan masyarakat, laboratorium kesehatan daerah, instalasi farmasi kabupaten/ kota Rumah Sakit Daerah Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2018 terdiri atas: Bantuan Operasional Kesehatan (BOK); - BOK Puskesmas - BOK Kabupaten/ Kota - BOK Provinsi - Distribusi Obat, Vaksin, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) serta dukungan pemanfaatan sistem informasi atau aplikasi logistik obat dan BMHP secara elektronik. Jaminan Persalinan (rujukan persalinan dari rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan yang kompeten; sewa dan operasional rumah tunggu kelahiran (RTK); dan pertolongan persalinan, paskapersalinan dan perawatan bayi baru lahir); Akreditasi Puskesmas (workshop pendukung implementasi akreditasi puskesmas; pendampingan akreditasi puskesmas; dan survei akreditasi puskesmas); Akreditasi Rumah Sakit (workshop pendukung pemenuhan standar akreditasi rumah sakit; pembinaan rumah sakit untuk persiapan akreditasi; dan survei akreditasi rumah sakit), dan/atau; Akreditasi Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda). Informasi lebih lanjut terkait dana alokasi khusus dan bagaimana manajemen pelaksanaannya dapat dilihat pada lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2017 di bawah ini. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2018

Peran Tenaga Akuntansi dalam Penerapan PPK-BLUD

Peran tenaga akuntansi dalam penerapan PPK-BLUD sangat penting untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat diandalkan. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memiliki Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) yang menerapkan prinsip fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan dari PEMDA (Pemerintah Daerah) pada umumnya. Meskipun BLUD telah memiliki kewenangan dalam mengatur keuangannya sendiri, dalam pelaksanaan kegiatannya, BLUD harus tetap mengutamakan efektivitas dan efisiensi serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat tanpa mengutamakan untuk memperoleh keuntungan. Secara teknis, fleksibilitas PPK BLUD dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007. Dalam melaksanakan pertanggung jawaban keuangannya, BLUD menyelenggarakan akuntansi dan menghasilkan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Penerapan standar tersebut menggunakan basis akrual dalam pengakuan biaya, pendapatan, aset, kewajiban, dan ekuitas dana. BLUD memiliki kewajiban untuk menyusun laporan keuangan semesteran dan tahunan yang terdiri dari Laporan Operasional, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) untuk dikonsolidasikan dengan Laporan Keuangan Daerah. Selanjutnya, laporan keuangan yang telah disusun oleh BLUD di-audit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adanya peraturan yang mewajibkan setiap BLUD untuk menyusun Laporan Keuangan dengan basis akrual mendorong meningkatnya kebutuhan terhadap tenaga akuntansi. Berdasarkan kondisi yang ada, puskesmas yang telah menyandang status BLUD di beberapa daerah di Indonesia masih belum memiliki pegawai yang dengan latar belakang akuntansi. Hal tersebut menyebabkan adanya pegawai dengan rangkap tugas, yaitu melaksanakan tugas sebagai tenaga kesehatan sekaligus bertanggung jawab dalam pelaporan keuangan BLUD, sehingga pegawai yang tidak memiliki latar belakang ilmu akuntansi mengalami kesulitan karena harus melaksanakan tugas-tugas yang bukan merupakan bidang keahliannya. Permasalahan tersebut menyebabkan proses dalam menyiapkan Laporan Keuangan BLUD menjadi lebih lama dan potensi terjadi kesalahan dalam melaksanakan prosedur akuntansi menjadi semakin besar. Oleh karena itu, adanya peran tenaga akuntansi sangat penting dalam membantu kelancaran pelaksanaan tugas dan mencapai PPK BLUD yang efektif dan efisien.

Jumlah Viewers: 850