Artikel BLUD.id

Rekonsiliasi Bank untuk BLUD (PART 2)

Rekonsiliasi Bank untuk BLUD dilakukan untuk mencocokkan saldo kas di bank menurut catatan bank dibandingkan dengan catatan akuntansi pada entitas BLUD yang mengelola rekening bank tersebut. Entitas BLUD melakukan koreksi saldo kas di akun kas pada bank tersebut, apabila perlu. Selain itu, rekonsiliasi bank berguna untuk mengecek ketelitian pencatatan dalam rekening kas dan catatan bank. Rekonsiliasi juga berguna untuk mengetahui penerimaan atau pengeluaran yang sudah terjadi di bank tetapi belum dicatat pada akuntansi BLUD atau sebaliknya. Catatan akuntansi entitas BLUD dan catatan menurut bank seharusnya menunjukkan saldo yang sama. Namun demikian, dalam kenyataan, jika rekening koran bank dibandingkan dengan catatan akuntansi entitas BLUD, kemungkinan dijumpai adanya perbedaan yang dapat disebabkan oleh 3 jenis kasus. Kasus pertama adalah transaksi sudah dicatat oleh entitas BLUD tetapi belum dilaporkan dan belum tercatat pada rekening koran, kasus kedua dapat berupa transaksi sudah dilaporkan di rekening koran bank, tetapi belum dicatat oleh entitas BLUD. Kasus ketiga adalah salah catat yang bias terjadi pada Bank maupun entitas BLUD itu sendiri. Pembahasan kasus pertama ada pada artikel sebelumnya (Rekonsiliasi Bank untuk Badan Layanan Umum Daerah (PART 1)), dan kasus kedua dan ketiga akan dibahas dalam artikel ini.   Transaksi sudah dilaporkan di rekening koran bank, tetapi belum dicatat oleh entitas BLUD, seperti: Biaya bank Biaya bank adalah biaya yang dibebankan oleh bank kepada entitas BLUD dengan cara langsung mengurangi saldo simpanan. Entitas BLUD biasanya baru mengetahui adanya biaya bank pada saat menerima rekening koran atau memo debet dari bank. Proses rekonsiliasinya adalah sebagai berikut: Biaya bank dapat ditemukan dengan mengidentifikasi memo debet untuk biaya bank di laporan bank. Contoh Jurnal : Belanja Administrasi Bank……………………………………………………..xxx Kas di Bank…………………………………………………………………………xxx   Setoran pendapatan/penerimaan melalui transfer giro Setoran pendapatan/penerimaan melalui transfer giro merupakan setoran melalui rekening giro BLUD di bank. Penerimaan ini telah dilakukan bank namun belum diinformasikan kepada entitas BLUD. BLUD baru mengetahui bertambahnya saldo kas setelah menerima laporan bank atau memo kredit dari bank. Proses rekonsiliasinya adalah sebagai berikut: Transaksi ini dapat diketahui dengan mengidentifikasi memo kredit untuk transfer tersebut di laporan bank. Contoh Jurnal : Kas di Bank ……………………………………………………………………..xxx Pendapatan (sesuai kode akun)…………………………………………………xxx   Jasa giro bank Jasa giro bank adalah balas jasa bank yang diberikan kepada BLUD karena bank dapat memanfaatkan simpanan giro BLUD. Dalam hal ini, bank langsung menambah giro BLUD, sedangkan BLUD belum mencatatnya karena belum mengetahuinya sampai saat menerima laporan bank atau memo kredit dari  bank dapat diketahui dengan mengidentifikasi memo kredit untuk jasa giro di laporan bank. Apabila terdapat jasa giro bank maka entitas BLUD melakukan penyesuaian dengan menambah nilai kas dari pendapatan jasa giro tersebut. Contoh Jurnal : Kas di Bank ……………………………………………………………………..xxx Pendapatan Jasa Giro…………………………………………………xxx         2. Salah Catat Apabila setelah mempertimbangkan semua penyebab di atas, ketidakcocokan antara saldo entitas pelaporan dan saldo bank masih ditemukan, maka kemungkinan terdapat salah catat di pembukuan BLUD dan/atau di buku bank. Apabila salah catat telah diidentifikasi, namun saldo kas belum sesuai, maka ada indikasi bahwa kas digelapkan. Kesalahan pencatatan dapat dilakukan baik oleh entitas BLUD maupun oleh bank, misalnya SP2D untuk membayar belanja barang sebesar Rp 173.000.000,00 oleh petugas akuntansi entitas BLUD dicatat sebesar Rp 137.000.000,00. Untuk mengoreksi saldo pembukuan BLUD berdasarkan hasil rekonsiliasi bank, diperlukan jurnal penyesuaian dan mempostingnya ke akun terkait.     Sumber : Buletin teknis No 14 – Akuntansi Kas

Rekonsiliasi Bank untuk BLUD (PART 1)

  Rekonsiliasi Bank untuk BLUD dilakukan untuk mencocokkan saldo kas di bank menurut catatan bank. Selanjutnya dibandingkan dengan catatan akuntansi pada entitas BLUD yang mengelola rekening bank tersebut. Entitas BLUD melakukan koreksi saldo kas di akun kas pada bank tersebut, apabila perlu. Selain itu, rekonsiliasi bank berguna untuk mengecek ketelitian pencatatan dalam rekening kas dan catatan bank. Rekonsiliasi juga berguna untuk mengetahui penerimaan atau pengeluaran yang sudah terjadi di bank tetapi belum dicatat pada akuntansi BLUD atau sebaliknya. Catatan akuntansi entitas BLUD dan catatan menurut bank seharusnya menunjukkan saldo yang sama. Akan tetapi, jika rekening koran bank dibandingkan dengan catatan akuntansi entitas BLUD, maka akan ada perbedaan yang dapat disebabkan oleh 3 jenis kasus. Kasus pertama adalah transaksi sudah dicatat oleh entitas BLUD tetapi belum dilaporkan dan belum tercatat pada rekening koran, kasus kedua dapat berupa transaksi sudah dilaporkan di rekening koran bank, tetapi belum dicatat oleh entitas BLUD. Kasus ketiga adalah salah catat yang bias terjadi pada Bank maupun entitas BLUD itu sendiri. Pembahasan kasus pertama ada pada artikel ini, dan kasus kedua dan ketiga akan dibahas dalam artikel selanjutnya (part 2).   Transaksi sudah dicatat oleh entitas BLUD, tetapi belum dilaporkan oleh bank dan belum tercatat pada rekening koran, seperti:  Setoran Dalam Perjalanan Setoran dalam perjalanan merupakan setoran yang dilakukan oleh entitas BLUD (biasanya pada akhir suatu periode yang dicakup oleh rekening koran) dan uang setoran tersebut belum diterima oleh bank. Hal ini dikarenakan adanya proses perbankan, seperti kliring, sehingga belum masuk dalam rekening koran bank. Proses rekonsiliasinya adalah sebagai berikut: Setoran dalam perjalanan dapat diidentifikasi dengan cara membandingkan semua setoran menurut dokumen sumber pendapatan dengan setoran yang tercantum dalam laporan bank. Sehingga, setoran BLUD yang belum tercatat di laporan bank merupakan setoran dalam perjalanan. Dokumen pencairan dana yang masih beredar (outstanding check) Dokumen pencairan dana yang masih beredar merupakan dokumen yang sudah dibuat dan diserahkan oleh entitas BLUD kepada penerima. Akan tetapi sampai pada akhir periode dokumen yang belum diuangkan di bank.  Contohnya adalah SP2D yang sudah diterbitkan namun belum dicairkan oleh bank. Akibatnya entitas BLUD telah mencatat sebagai pengeluaran tetapi belum dicatat oleh bank. Proses rekonsiliasinya adalah sebagai berikut: Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dan/atau cek yang masih beredar (outstanding check) dapat diidentifikasi dengan cara membandingkan seluruh SP2D/cek yang telah dikeluarkan dengan SP2D/cek yang telah dibayarkan/diuangkan oleh bank yang tercantum di laporan bank.  Sehingga, SP2D/cek yang tidak tercantum di laporan bank merupakan SP2D/cek yang masih beredar.   Sumber : Buletin teknis No 14 – Akuntansi Kas

Cara Penghapusan Utang BLUD

Cara penghapusan utang BLUD menurut PSAP 9 adalah pembatalan secara sukarela tagihan oleh kreditur kepada debitur, baik sebagian maupun seluruhnya, jumlah utang debitur dalam bentuk perjanjian formal diantara keduanya. Atas penghapusan utang mungkin diselesaikan oleh debitur ke kreditur melalui penyerahan aset kas maupun nonkas dengan nilai utang di bawah nilai tercatatnya. Menurut PSAP paragraf jika penyelesaian satu utang yang nilai penyelesaiannya di bawah nilai tercatatnya dilakukan dengan aset kas, maka ketentuan pada restrukturisasi utang di paragraf berlaku. Jika penyelesaian suatu utang yang nilai penyelesaiannya di bawah nilai tercatatnya dilakukan dengan aset nonkas maka entitas sebagai debitur harus melakukan penilaian kembali atas aset nonkas dahulu ke nilai wajarnya dan kemudian menerapkan ketentuan Buletin Teknis Nomor 22 tentang Akuntansi Utang Berbasis Akrual Komite Standar Akuntansi Pemerintahan pada resktrusturisasi paragraf, serta mengungkapkan pada Catatan atas Laporan Keuangan sebagai bagian dari pos kewajiban dan aset nonkas yang berhubungan. Contoh: Salah satu contoh penghapusan sebagian utang adalah Program Debt2Health antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jerman senilai juta Euro. Program tersebut dimulai sejak tahun 20X1, merupakan bentuk pengalihan utang melalui program kesehatan. Indonesia akan mendapat penghapusan utang dari Pemerintah Jerman sebesar dua kali lipat dari nilai program tersebut. Sesuai mekanisme yang disepakati, Pemerintah Indonesia akan menyalurkan dana ke Global Fund, sebuah lembaga Internasional yang bergerak dalam pemberantasan penyakit AIDS, TBC dan malaria. Global Fund kemudian menyampaikan bukti pembayaran itu kepada Pemerintah Jerman. Pembiayaan program Debt2Health itu akan dicicil selama lima tahun, dari tahun 20X1 hingga tahun 20X5. Pembayaran pertama sebesar 5 juta euro atau Rp73 miliar dilakukan pada tanggal 30 Mei 20X1. Berdasarkan contoh di atas, sesuai dengan kesepakatan, maka penghapusan utang baru diakui di neraca pada saat pemerintah Indonesia menyerahkan pembayaran ke Global Fund. Pembayaran pertama sebesar 5 juta euro atau Rp73 miliar dilakukan pada tanggal 30 Mei 20X1. Nilai utang yang dihapuskan adalah 2 kali lipat dari pembayaran yang dilakukan. Untuk pembayaran pertama tanggal 30 Mei 20X1, maka jumlah utang yang dihapuskan adalah senilai 10 juta euro atau Rp 146 miliar. Jurnal atas pembayaran dan penghapusan utang tersebut pada tanggal 30 Mei 20X1 adalah: Pembayaran Kode Akun Uraian Debet Kredit XXXX Utang Dalam Negeri 73.000.000.000,00 XXXX       Kas 73.000.000.000,00 Penghapusan utang Kode Akun Uraian Debet Kredit XXXX Utang Dalam Negeri 146.000.000.000,0 XXXX Surplus dari Kegiatan Non Operasional - Penyelesaian Kewajiban Jangka Panjang 146.000.000.000,0 Dalam hal program penghapusan sebagian utang bukan berupa pengeluaran pembiayaan, tetapi berupa persyaratan belanja tertentu, misalnya kreditur XYZ akan menghapus sebagian utang Pemerintah Indonesia apabila Pemerintah membangun 1000 laboratorium pada Sekolah Menengah, maka akun yang didebit adalah pengeluaran untuk belanja dimaksud, misalnya belanja modal untuk pembangunan 1.000 laboratorium yang dipersyaratkan dalam perjanjian penghapusan utang.

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pelunasan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi pembelian barang atau perolehan jasa dari pihak ketiga. Salah satu contohnya yaitu  pembelian alat tulis kantor, pembelian seragam untuk keperluan dinas, pembelian komputer. Selain itu, contohnya yaitu pembelian mesin absensi pegawai, perolehan jasa konstruksi, perolehan jasa pemasangan mesin absensi, perolehan jasa perawatan AC kantor, dan perolehan jasa atas tenaga keamanan. Secara umum atas setiap transaksi pembelian barang dan perolehan jasa dari pihak ketiga atau rekanan yang dibayar oleh bendahara harus dilakukan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun demikian, terdapat beberapa transaksi pembelian barang dan perolehan jasa dari pihak ketiga yang tidak perlu  dipungut PPN oleh bendahara, diantaranya yaitu: Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Selain itu,  tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; Pembayaran untuk pembebasan tanah; Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Serta mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; Pembayaran untuk penyerahan Bahan Bakar Minyak (BBM). Serta Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT Pertamina (Persero); Pembayaran yang diperuntukkan untuk rekening telepon; Pembayaran jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; Pembelian barang lainnya seperti untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).   Peraturan-peraturan perpajakan yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pemungutan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah antara lain: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010; Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 44/PJ/2010; Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003.

Pemotongan / Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) PART 2

Pemotongan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) terdiri dari Jasa Kontruksi. Adapun penjelasan mengenai pemotongan pemungutan pajak penghasilan pasal 4 ayat (2). dijelaskan dibawah ini: JASA KONSTRUKSI Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build). Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. Tarif dan Dasar Pengenaan PPh Final:   Peraturan-peraturan perpajakan yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah: Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh; PP Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 71 Tahun 2008; PP Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 5 Tahun 2002; PP Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 40 Tahun 2009; Keputusan Menteri Keuangan 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008; Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009; Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002.

Pemotongan / Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) PART 1

Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 4 ayat (2) adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 1. PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN Objek PPh Final adalah sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan. Adapun gedung pertemuan yang termasuk didalamnya yaitu, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri. Besarnya PPh Final yang dipotong adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan. Hal ini baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan. Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa.  Termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge (baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan). 2. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN Objek PPh final adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati. Besarnya PPh Final yang dipungut adalah 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pembebasan PPh Final dapat diberikan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada: Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. Pembebasan diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. Adapun persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara, fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak (seperti: pemerintah dan perwakilan negara asing). Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan 3) diberikan tanpa melalui penerbitan SKB.

Jumlah Viewers: 1075